Anak-anak itu masih kecil. Mungkin usianya baru lima tahun. Bisa jadi lebih muda daripada itu.
Bermodalkan helm dan memakai masker hitam, mereka menaiki kuda tanpa pelana yang dua kali tingginya.
Dengan sigap bergegas masuk ke bilik-bilik besi di garis start. Bersiap beradu cepat dengan pejoki kuda lainnya.
Sementara di podium, penonton bersorak menyemangati kuda jagoannya. Tak hanya balapan yang membuat mereka bersemangat, tapi juga apa yang dipertaruhkan.
Pemandangan ini biasa terlihat di arena pacuan kuda di Panda, Bima, Nusa Tenggara Barat setiap Minggu pagi.
Para joki cilik, sebutan untuk anak-anak penunggang kuda, datang dari berbagai penjuru untuk mengadu kuda-kudanya.
Pacuan Kuda atau dalam bahasa Mbojo atau Bima disebut Pacoa Jara atau Pacu Mbojo, sudah ada sejak 1927 pada masa pemerintahan Hindia Belanda, dikutip dari Kemdikbud.
Awalnya, olahraga ini diselenggarakan untuk menghormati hari kelahiran Ratu Wilhelmina.
Di masa itu, mereka cenderung menggunakan para joki remaja dalam perlombaan.
Namun, dalam perkembangannya, para penunggang atau joki pada Pacoa Jara di Bima beralih menjadi anak-anak.
Rata-rata, para joki cilik berusia relatif muda, yakni 5-12 tahun.
Perayaan menjadi tradisi. Tradisi menjadi kebiasaan. Joki cilik menjadi bagian yang tak bisa terpisahkan dari masyarakat dan pacuan kuda Bima.
Banyak faktor yang mendorong fenomena joki cilik ini. Utamanya adalah faktor ekonomi.
Rata-rata masyarakat Bima menggantungkan hidupnya sebagai petani atau nelayan.
Sementara pendapatan sebagai petani dan nelayan tak dapat diandalkan sebagai pendapatan utama. Bergantung pada musim dan gelombang yang tak tentu.
Joki cilik pun menjadi salah satu profesi alternatif karena potensi pendapatannya yang besar untuk sekali balapan.
Masyarakat Bima sendiri dikenal akan budayanya yang kaya. Mereka menjunjung tinggi tradisi nenek moyang mereka yang turun temurun, termasuk pacuan kuda ini.
Menjadi joki cilik pun menjadi satu kebanggaan, karena selain alasan tradisi, profesi ini bisa mengangkat derajat perekonomian keluarga.
Tetapi, keberadaan joki cilik juga membawa implikasi lain yang tak terelakkan.
Pro kontra yang terjadi adalah keberadaan joki cilik berpotensi mengeksploitasi dan membuat hak-hak dasar anak menjadi terabaikan.
Anak-anak yang seharusnya menikmati masa kecil mereka dan duduk di bangku pendidikan. Namun, waktu mereka tersita untuk menggeluti tradisi tersebut.
Belum lagi soal faktor risiko. Selama pertandingan, acap kali para joki hanya mengenakan peralatan keamanan atau alat pelindung diri (APD) yang seadanya.
Membuat potensi risiko kecelakaan saat perlombaan kian tinggi. Kasus joki cilik yang tewas di arena pacuan pun terus terjadi.
Yang terbaru seorang joki cilik berinisial AB (12) di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) tewas di arena pacuan pada Minggu (13/8/2023), dikutip dari pemberitaan Kompas.com
Korban tewas setelah mengalami pendarahan di otak akibat jatuh terpental di jalur lintasan. Ia disebut tidak mengenakan APD dan pelindung badan (body protector).
Arena pacuan kuda ditutup sementara, tetapi praktiknya tak berhenti.
Anak sekecil itu mengendalikan kuda yang melaju kencang tanpa APD yang memadai tentu amatlah berisiko. Itu langsung terjawab di lapangan.
Insiden joki cilik ini sempat terdokumentasikan saat latihan di arena pacuan kuda Panda Bima NTB, pada Minggu (14/4/2024) lalu.
Kejadian itu terjadi begitu cepat, tetapi bisa tertangkap rana kamera.
Mulanya, kuda yang dikendarai joki mengamuk dan mencoba kabur dengan melewati pagar arena.
Namun, malangnya kuda itu menabrak pagar kayu yang cukup keras. Kayu pembatas itu patah.
Sementara kepala joki terbentur dan kemungkinan besar mendapatkan memar. Beruntung, ia mengenakan helm saat itu.
Seakan tak terjadi apa-apa, setelah insiden itu joki cilik tetap lanjut tampil di arena.
Pacoa Jara menjadi salah satu daya tarik wisata utama di NTB, termasuk di Bima. Pacoa Jara juga telah menjadi warisan budaya dari Bima.
Bahkan, menjadi event tahunan yang turut mendorong pariwisata dan pendapatan daerah.
Namun, solusi dari berbagai pihak termasuk pemerintah sangat diperlukan untuk menyikapi fenomena joki cilik ini.
Pacuan kuda perlu terus berjalan dan tradisi memang perlu lestari, tetapi hak-hak anak juga wajib dilindungi.
(Teks dan foto oleh Rendika Ferri Kurniawan)