"Kita semua hanya menunggu antrean, kapan dipanggil kita tidak akan tahu. Di pondok sepuh ini, para santri sepuh ingin mencari bekal yang dapat dibawa saat antrean mereka tiba. Antrean dalam hal ini adalah kematian"
Sayup-sayup bacaan ayat suci Al-Qur'an merdu terdengar di antara bising deru kendaraan yang melintas.
Tampak dari seberang jalan Magelang-Semarang, sebuah masjid yang ramai oleh para manula.
Mereka terlihat khusuk membaca Al-Qur'an. Sementara yang lain khidmat menyimak. Ada yang salat. Ada juga yang sekadar istirahat di serambi.
Merekalah santri-santri lanjut usia Pondok Pesantren Sepuh, Masjid Agung Payaman, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Ini menjadi pemandangan tak biasa. Santri identik dengan kaum muda yang belajar agama di pesantren. Tetapi, memang tak semua santri berusia muda.
Ada yang sudah sepuh yang hingga kini masih mengabdi menjadi santri. Mereka di antaranya.
Meski telah di usia senja, para santri tak jua berberat kaki.
Dengan giat, mereka beribadah dan beraktivitas di pesantren. Mulai dari mengaji kitab, mendengarkan ceramah kyainya, hingga menunaikan ibadah baik wajib maupun sunah. Dari pagi hingga malam, sampai pagi lagi.
Pada 2019 lalu, saya sempat bertemu dengan pengasuh Pondok Pesantren Sepuh K.H. Muhammad Tibyan AM.
Beliau sedikit bercerita tentang perjalanan pondok sepuh ini. Pesantren sepuh ini sudah berdiri sejak dulu kala, bahkan sebelum jaman kemerdekaan.
Kyai Haji Romo Agung Anwari Siradj pada 1930 yang berjasa mendirikan pondok sepuh Payaman dan terus berlanjut hingga sekarang.
Setahun sekali saat Ramadan, ratusan santri sepuh berdatangan ke pondok di Masjid Agung Payaman untuk mengikuti pesantren. Dari awal Ramadan dan berakhir pada hari ke-21.
Mereka dalam panggilan hatinya rela meninggalkan kenyamanan masa tua. Meninggalkan keluarga dan dengan tulus mendalami agama, beribadah dan menuai pahala, demi mengumpulkan bekal mati.
Di pondok sepuh, para santri seakan berdamai dengan kematian. Mereka menyadari hidup tak akan selamanya. Hanya dengan cara inilah mereka merayakan sisa kehidupannya di dunia.
"Kita menyadari bahwa semua akan menuju ke "Rumah Idaman", yakni lubang berukuran satu kali dua meter dengan kedalaman 1,5 meter, yakni ke alam kubur, untuk itu di sini kita mempersiapkan bekal sebaik-baiknya," ujar K.H. Muhammad Tibyan.
Berbagai kegiatan yang dilakukan para santri sedari pagi, mereka harus bangun pukul 03.00 dini hari, untuk sahur dan melaksanakan salat subuh. Pukul 06.00-07.00, kuliah subuh dilanjut pengajian sampai sebelum dhuhur, dan ashar.
Setelahnya, mereka bisa istirahat, tidur atau mencuci pakaian, dan beraktivitas seperti biasa.
Kegiatan dilanjut bakda magrib dengan berbuka puasa dan salat Magrib. Bakda Isya mereka melaksanakan tadarus hingga pukul 11.00.
Istiharat sebentar, pukul 01.00, mereka harus bangun lagi untuk melaksanakan salat hajat, salat tahajud, salat tasbih dalam waktu Qiyamul Lail.
"Mereka dapat menginap di pondok-pondok yang telah disediakan di sekitar masjid, atau cukup tidur di serambi masjid. Kegiatan dipusatkan di Masjid Agung Payaman, dengan berbagai aktivitas dari tadarus, tarawih, kajian, dan beribadah secara tekun," kata KH Muhammad Tibyan.
Salah satu santri sepuh, Sholikin Ruslan (68) datang dari Jakarta. Ia bercerita ingin mengisi waktu di hari-hari tuanya dengan kegiatan yang baik dan ibadah.
Sholikin ingin mengumpulkan bekal yang akan dibawanya sampai akhir hayatnya.
"Selagi masih hidup, saya ingin mengisi waktu saya dengan ibadah dan belajar agama. Sebagai bekal nanti di hari akhir saya," katanya.
(teks dan foto/Rendika Ferri K)
Artikel ini juga telah tayang di https://jogja.tribunnews.com/2019/05/10/mengunjungi-ponpes-manula-masjid-agung-payaman-magelang-usia-para-santrinya-mulai-50-100-tahun?page=all