Cerita ini sebenarnya sudah lama sekitar tahun 2016 silam. Waktu itu hampir sore sekitar pukul 14.30 WIB, di Kotagede, Yogyakarta, saat saya berkunjung ke tempat tinggal Shinta Ratri, seorang transgender di Yogyakarta.
Beliau lebih suka dipanggil "Bu Shinta" daripada "mas" atau "pak". Lagipula, nama itu juga nama ubahan.
Sayup-sayup terdengar merdu bacaan ayat suci Alquran dari depan rumahnya. Ia sedang mengaji di belakang rumah saat saya mengucapkan salam dan masuk menghampirinya.
Rumahnya tampak kecil, tetapi cukup lapang di dalam. Rumah yang bukan lagi tempat tinggal, tetapi juga pesantren. Bukan sembarang pesantren, tetapi pesantren waria.
Pertama saya kaget, bagaimana mereka belajar agama, sementara agama meniadakan keberadaan mereka, bahkan dianggap dosa.
Adalah Pesantren al-Fatah, pesantren yang berdiri dari gempa di Yogyakarta tahun 2006 silam. Sejumlah waria di Yogyakarta saat itu sedang mengadakan doa bersama untuk masyarakat yang menjadi korban dan juga mendoakan enam kawan waria lain yang turut meninggal.
Doa bersama yang menjadi pengajian rutin. Pengajian rutin menjadi sebuah pesantren. Pesantren Al Fatah, itulah tempat waria-waria di Yogyakarta belajar Islam.
Seorang ustaz kala itu datang sukarela di setiap pertemuan untuk membimbing mengaji para waria. Pengajian sebagaimana pengajian pada umumnya. Mereka mengaji, bertadarus, mendengarkan ceramah dan kajian, dan shalat atau sembahyang yang tak lupa dikerjakan.
Pemandangan yang tak biasa saya lihat dalam sebuah pengajian. Para waria sebagian berdandan menggunakan hijab, jilbab atau rukuh. Ada yang berpakaian lengkap dengan sarung dan peci. Namun, ternyata semua penampilan itu tak menjadi soal.
Mereka amat menghormati waktunya dengan Tuhan. Waktu untuk bercerita dan berdoa kepada-Nya yang sejuk, khusyuk, dan penuh harap.
Selesai mengaji, kami sempat berbincang tentang banyak hal. Sebagian besar soal waria dan stigmatisasi terhadap mereka. Ia juga bercerita soal masa lalunya yang dia rasakan pahit. Dia bercerita kalau pernah menikah, tetapi tak berjalan mulus dengan status yang dia sandang. Banyak hal yang kami bicarakan.
Salah satunya ketika dia mengutarakan kepada saya beberapa alasan yang mendasari didirikannya pesantren waria ini. Shinta ingin mendidik rekan-rekannya sesama waria agar lebih paham dengan ajaran Islam.
Keinginannya juga agar masyarakat lebih paham dengan keberadaan waria, juga dorongan kepada pemerintah untuk lebih tahu persoalan waria. Melalui pesantren ini, Shinta dan rekan-rekan waria ingin menjadi manusia yang lebih baik.
"Kami ingin belajar agama islam. Kami ingin berubah ke arah yang lebih baik. Kami ingin menjadi manusia yang lebih baik," ujarnya.
Saya pulang dengan menyesak haru di dada. Bagaimana pun juga pandangan agama, pandangan masyarakat yang buruk, mereka tetaplah manusia. Sama seperti saya. Semua sama.
Beberapa tahun tak bertemu, saya mendengar kabar bahwa Shinta meninggal dunia. Ia meninggal pada Rabu, 1 Februari 2023 lalu, karena sakit jantung. Saya mengenalnya sebagai pribadi yang baik, terlepas apapun alasan selain itu. Selamat jalan.